The Festivities of Silence at The Room 19

As much as we love  this city, tapi kalau kata ‘Bandung’ dan ‘perpustakaan’ digabungin kayaknya agak nggak nyambung—kayak makan milkshake pake jengkol, atau sambel sama goat cheese!

Words

Published

the room 19-23

Minimnya perpustakaan di Bandung emang suka bikin geeks bertanya-tanya: ke mana lagi, ya? Tapiii, ditengah ekosistem literasi yang terbatas, hadirlah sebuah unsung hero above these desserts: The Room 19!

If Susan Rawlings from Doris Lessing’s To The Room Nineteen were living in the suburbs of Bandung, we bet she’d be thrilled to find a hidden sanctuary tucked in the heart of Dipati Ukur

Against all odds and clichés about libraries, ruangan ini jauh dari stereotip rak buku berdebu atau ruang sepi yang langsung nyuruh kamu diem kalau ada suara kunyahan wortel (kayak di film-film Amerika!). The Room 19 hadir dengan suasana yang hangat, dipenuhi sentuhan warna cokelat dan kuning yang menenangkan. Dengan teh yang terus mengalir tanpa henti dan para librarians yang siap bantu kalo kamu harus baca buku apa, tempat ini dijamin bisa bikin kamu betah!

Didirikan oleh Reiza, Alia, dan Edo, tempat ini lahir dari kecintaan mereka sama kota ini, tapi juga keresahan mereka akan kurangnya ruang literasi. Lalu dari sana (Dan inspirasi dari To The Room Nineteen dari Doris Lessing) Mereka memulai perjalanan ini buat ngenjawab kebutuhan akan sebuah ruang yang lebih dari sekadar tempat membaca.

Beyond just a room, it’s a beating heart—a safe space to savor your soul and find solace in silence.

So, for those who seek it, come!

This is a room full of magic—made for those bold enough to peel back layers of paper and uncover the secrets within.

Share this article

LinkedIn
Facebook
Threads

Explore Story